DOA
Oleh: Andryas Dewi
Pratiwi *)
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh 1)
Langit
menghitam. Bintang-bintang menangis. Menitikan air surgawi di wajah bumi.
Menyetubuhi alam dengan kesejukannya. Merenda kabut putih. Menyibak damai
shubuh. Bumi yang kini kupijak pun
basah. Basah oleh air langit-Nya. Basah oleh air mata munajat hamba-Nya.
Kedamaian pagi berhias sujud dan tengadah. Senandung tasbih mengangkasa.
Menembus langit demi langit-Nya.
Kedamaian pagi itu juga yang menggugah tubuh kurus
Neesya untuk menembus dingin shubuh demi mendirikan dua rekaat sunnah dan
menengadahkan tangan, memuji dan mengadu kepada Pencipta-nya. Bergegas
ia berwudlu, kemudian masuklah ia ke sebuah ruangan berukuran sedang di bagian
depan sisi rumah singgah yang ia huni. Rapi. Empat lembar sajadah tersusun
berjajar membentuk shaf. Ia pun mulai bertakbir.
Begitu indah.
Embun bening mengalir dari sela matanya yang redup. Bingkai duka masih nyata
menggantung di wajah sayunya. Kepergian orang yang ia sayangi begitu memukulnya
dan hampir mencabik keteguhan hatinya. Nyaris saja ia mengumpat dan mengutuk
Tuhan atas musibah yang menderanya. Ya. Orang yang telah ia anggap sebagai
kakak semenjak kepergiannya dari rumahnya tiga bulan silam, dua hari lalu telah
menghadap Sang Pemilik Hidup. Darinya-lah Neesya belajar memaknai hidup dan
kehidupan meski belum lama ia mengenalnya, namun sudah banyak hal yang Neesya
dapatkan. Di mata Neesya, ia adalah kakak sekaligus pengganti ibunya.
***
Siang yang
cerah di akhir bulan November, di sebuah rumah singgah di kota Bandung, Neesya
tampak begitu tergesa-gesa hendak meninggalkan rumah. Ia sibuk memasukkan
peralatan lukisnya ke dalam tas pinggang biru muda berukuran sedang di atas
meja belajar butut di pojok kamarnya.
“Hari ini
jadwal melukis ya, dik? Emang jam
berapa mulainya? Buru-buru banget nich kayaknya. Sini mbak
bantuin.” Naura yang sedari tadi mengamati Neesya dari balik pintu kamarnya
menawarkan bantuan kepada Neesya.
“Iya nich,
Mbak. Udah mau telat.”
“Lain kali
lebih awal ya nyiapinnya. Biar kamu juga nggak keburu waktu kayak
gini.”
“Hehehe... iya
mbak cantik.”
Neesya tertawa
kecil. Sementara Naura membalasnya dengan senyum ketulusan yang begitu dalam.
“Ya udah,
Neesya pamit dulu ya mbak. Assalamu'alaikum.”
Neesya
menjabat dan mencium tangan lembut Naura.
“Wa'alaikumsalam
warahmatullah. Hati-hati di jalan. Jangan lupa baca doa.”
“Oke, mbak!”
sahut Neesya sambil melesat pergi dengan mengayuh sepedanya keluar halaman
rumah. Kerudung birunya berkibar dibuai angin. Ringan. Menggambarkan suasana
hati pemakainya. Yang mengekspresikan kedinamisan hidup yang mengenakannya. Dan
itulah jiwa Neesya yang sesungguhnya.
Naura
mengamati Neesya dengan seksama dan penuh perhatian. Dalam hati ia mengguman
dan berdoa.
“Ya Allah,
jagalah adik hamba ini. Jagalah semangat yang berpendar dari jiwanya. Jagalah
keceriaan yang terukir di wajahnya. Dan jagalah iman yang Kau tanamkan di
hatinya. Amiin.”
Tiba-tiba
angin berhenti berhembus. Kicau burung melemah. Tak berapa lama suasana berubah
menjadi hening. Alam seolah ikut mengamini doa gadis itu. Mengalirlah
airmatanya, melukis dua buah sungai kecil melewati kedua pipinya. Wajahnya
memucat.
***
Jumat, 19
November 2010
18.13 WIB
“Terima kasih Ya Allah atas karuniaMu selama ini. Terima kasih
Engkau masih berkenan memberikan hamba kesempatan menikmati satu hari lagi
dalam perjalanan hamba menuju padaMu. Kedamaian benar-benar hamba rasakan hari
ini. Jagalah apa yang ada di hati hamba. Tiada lagi kata yang dapat hamba
ungkap demi melukiskan betapa besar rasa syukur hamba atas segala kemurahanMu.
Ya Allah, terima kasih Engkau telah mengirimkan seorang adik kepada
hamba. Berkat dialah hamba dapat lebih mendekatkan diri dan hati hamba padaMu.
Lindungi dia, Ya Rabb. Teguhkan imannya. Amiin.”
Selarik
doaku hari ini...
Setetes air mata meluncur dari mata Naura yang masih mengenakan mukena.
Ia menutup buku harian berwarna biru muda miliknya. Sejurus dengan hal itu,
masuklah Neesya ke dalam rumah dengan wajah merah padam. Jengkel. Marah.
Menyesal. Kain yang pagi tadi menutup mahkotanya tanggal dari tubuhnya. Begitu
pula dengan pakaian taqwa yang ia kenakan tadi pagi. Ia masuk ke kamar Naura.
Naura yang baru saja menutup buku hariannya tampak terkejut.
“Astaghfirullahal'adzim. Masya Allah... dik, kamu...”
“Ini saya kembalikan, mbak. Saya tidak pantas mengenakannya.”
kata Neesya sambil menyodorkan blus biru muda dan kerudung dengan warna senada
kepada Naura.
“Lho, kenapa, dik? Ada apa ini?”
Sontak Neesya pun menghambur ke pelukan Naura. Ia mengangis
tersedu-sedu. Naura terpaku sejenak. Naura membiarkan Neesya menangis dalam
pelukannya. Barulah setelah dikiranya keadaan Neesya lebih tenang, ia mengajak
gadis itu duduk di tepi tempat tidurnya di pojok ruangan kamar berukuran 3x4
meter itu.
“Ada apa sebenarnya, dik?” tanya Naura lembut.
“Tony, mbak. Ia datang lagi.”
“Maksud kamu? Tony yang pernah kamu ceritakan itu?”
“Iya, mbak. Ternyata selama ini dia memata-matai saya. Dan tadi
sore saya bertemu dengannya di dekat sekalah darurat. Dia mendekati saya saat
saya sedang bersiap-siap untuk pulang. Saya kaget saat ia sudah berada di
samping saya.”
Neesya kembali terisak. Ia mencoba menguatkan diri untuk memulai lagi
ceritanya.
“Ia menertawakan saya, mbak. Tertawa yang sangat menyakitkan
bagi saya. Ia bilang wanita kotor, tak pantas mengenakan pakaian ini.” Neesya
menunjuk pakaian yang ia sodorkan kepada Naura tadi.
“Bukan hanya itu. Ia juga berusaha menyentuh saya. Saya berusaha
menghindar namun ia justru mengumpati saya. Ia membuka aib kami di hadapan saya
sembari mengejek. Bahkan dengan ringannya ia mengajak saya untuk
mengulanginya.”
“Wanita kotor? Aib? Apa maksud kamu?”
“Sebenarnya saya sudah tidak suci lagi. Tony telah merenggut mahkota
itu. Meskipun saya tergolong nakal dulunya, tapi saya tak pernah
menginginkannya. Ia telah memperdaya saya hingga dengan mudahnya ia mendapatkan
hal itu. Itu pula yang menyebabkan saya pergi dari kediaman orang tua saya, mbak.”
Bagai disambar petir Naura mendengar penuturan adiknya. Ternyata
sekelam itu masa lalu Neesya. Tapi bukan hal itu yang mencabik hatinya.
Perkataan Neesya justru yang menggugah memori kelam Naura muncul kembali dalam
angannya.
“Saya merasa tak pantas mengenakan pakaian ini, mbak.”
Naura masih terdiam.
“Apakah Allah masih berkenan mengampuni saya, mbak? Wanita kotor
yang dengan mudahnya menyerahkan kehormatannya kepada laki-laki tak bertanggung
jawab itu.”
Naura menarik napas dalam-dalam.
“Setidaknya kamu bukanlah seorang pembunuh.” kalimat itu meluncur
begitu saja dari bibir Naura. Wajahnya yang putih tampak pucat.
“Maksud mbak?”
“Mbak lebih kotor darimu, dik. Mbak lebih pantas dihina.
Masa lalu mbak tak jauh berbeda dari masa lalumu.” Naura mengambil napas
untuk mulai bercerita.
“Mbak juga mengalami hal serupa denganmu dan mbak melakukannya
dengan kerelaan. Bukan hanya sekali atau dua kali, tapi berkali-kali hingga mbak hamil. Mbak kalut
saat itu dan berpikir pendek untuk menggugurkan kandungan mbak. Dan pada
akhirnya kedua orang tua mbak tahu akan hal itu. Ibu mbak yang
tengah sakit keras saat itu benar-benar kecewa kepada mbak. Hingga akhir
hayatnya, beliau belum bersedia memaafkan mbak dan tidak mengakui mbak
sebagai putrinya serta melarang mbak untuk sekedar berziarah ke makam
beliau jika beliau meninggal. Begitu pula dengan ayah mbak. Dan akhirnya
mbak memutuskan untuk meninggalkan rumah dan medirikan rumah singgah ini
dengan jerih payah mbak sendiri. Dari sinilah mbak mulai menata
kembali hidup mbak, mbak mulai belajar mengenai agama dan sebisa
mungkin mengamalkan apa yang telah mbak terima. Meski mbak nggak
tahu apakah yang mbak lakukan ini diterima Allah atau nggak.”
wajah Naura tampak semakin pucat. Tubuhnya bergetar.
“Dik, kita harus tetap berusaha memperbaiki diri. Tak ada kata
terlambat sebelum Malaikat Maut menghampiri kita. Bertawakallah pada Allah. “
Neesya terisak mendengar cerita dari Naura. Terkejut bercampur rasa
haru.
“Ini... pakai kembali kerudungmu. Jangan terpengaruh dengan kata-kata
orang disekitarmu yang mencoba menggoyahkan keteguhanmu.”
Keduanya terdiam beberapa saat. Neesya sibuk dengan pikiran yang
menggantung di angannya.
“Ya Allah, sepahit itukah lembaran kisah mbak Naura? Hamba
benar-benar tidak menyangka. Wanita sesholikhah itu ternyata... . Ya Allah,
kuatkanlah hatinya. Kuatkan imannya. Ampunilah dosa-dosanya dan dosa-dosa
hamba.” bisiknya dalam hati.
Lantunan adzan Isya' terdengar dari kejauhan. Angin berhembus lirih menyemarakkan
suasana malam.
“Sudah masuk waktu sholat, dik. Kembalilah ke kamarmu. Bersihkan
dirimu lalu ambil air wudlu. Mbak tunggu di depan. Kita sholat
berjamaah, ya.”
Neesya masih terdiam saat ia beranjak meninggalkan kamar Naura.
Beberapa saat setelah itu, Neesya menuju tempat yang disebutkan Naura tadi.
Terlihat Naura tengah berdzikir sembari menunggu Neesya. Terlihat pula dua
remaja putri lain juga sudah siap untuk sholat disana. Neesya masuk. Dengan
lembut tangannya menyentuh bahu Naura. Naura memandang ke arah Neesya dengan
tatapan yang teramat teduh. Wajahnya pucat. Neesya merasakan getaran lain.
Sesuatu yang aneh merasuk ke dalam pikirannya. Angin yang tadi berhembus, kini
tak terasa pergerakannya. Hening, bahkan terlampau hening bagi Neesya.
“Sudah siap?”
Pertanyaan Naura membuyarkan pikiran Neesya. Neesya mengangguk pelan.
Naura beranjak dari duduknya dan mengambil posisi sebagai imam. Langkahnya
bergetar. Ia mulai melafalkan takbir. Tak seperti biasanya, kali ini Naura
tidak membaca Surah Al-Kaafirun dan Al-Ikhlas namun ia memilih untuk membaca
potongan surah Ali Imraan ayat 31 pada rekaat pertama dan Surah Luqman ayat
12-14 pada rekaat selanjutnya.
“Qul inkuntum tuhibbuunallaaha fattabi'uunii yuhbibkumullaahu wa
yaghfirlakum dzunuubakum, wallaahu ghofuururrahiim...”2)
Alam bertasbih mendengar ayat penguji cinta itu. Air mata Naura
mengalir saat ia melafalkan firman Allah itu. Begitu dalam makna yang ia
rasakan.
Seusai sholat Naura langsung menuju kamarnya. Sebuah keganjilan
dirasakan oleh Neesya. Wajah Naura tampak murung dan terpukul. Neesya takut
mendekati Naura. Dan akhirnya ia memutuskan untuk diam.
Di kamarnya, Naura kembali mengambil buku hariannya. Ia ingin menulis
kembali.
Aku tersedak
sesuatu melintas dalam pikiran hadirkan rasa tak nyaman
kutelan ludah
pehit rasa dalam kerongkongan
Terngiang merdu adzan
berkumandang
hujan dari redup mata kembali
menderas
syahadah menjadi mimpi terindah
begitu indah mendambanya
Meski rasa sakit itu kian
mendera
merambati keteguhanku
kututup mata mencoba melerai
Jalanku terhampar
di sana
namun...
belum ingin ku melangkah
sebelum mengucap salam
terindah
Aku ingin dilepas
dalam penghambaan terakhir
antar aku menuju pelabuhanku
dalam keridloanMu 3)
Setelah ia menulis puisi itu ia lalu mengambil mushaf Al-Qur'an.
Kemudian ia duduk di tepi tempat tidurnya dan membaca potongan Surah Luqman
yang ia baca saat sholat tadi. Kembali ia menangis saat membaca ayat ke-14,
“Wa wash-shoinal insaana bi waalidaihi hamalathu ummuhuu wahnan
'alaa wahniw-wa fishooluhuu fii 'aamaini anisykur lii wa li waalidaik,
ilayyalmashiir” 4)
Naura mencium mushaf miliknya itu dan mendekapnya, kemudian ia mengucap
dua kalimat syahadat. Namun tiba-tiba saja tak sadarkan diri. Mushafnya masih
berada erat dalam pelukannya.
***
Naura tengah membaca ayat yang teramat berarti baginya dengan berurai
air mata. Seberkas cahaya menghampiri Naura, sangat menyilaukan. Naura
memejamkan matanya. Tiba-tiba terdengar suara lembut seorang wanita.
“Bukalah matamu, sayang.”
Naura mencoba membuka matanya. Cahaya itu telah lenyap berganti dengan
sosok wanita separuh baya dengan wajah berbinar berdiri di hadapannya.
“Ibu!” air mata Naura tak terbendung lagi. Ia bertekuk lutut lantas
mencium kaki ibundanya. “Uhibbuki, ya Ummi. Uhibbuki fillah, insya Allah.
Ananda mohon maaf atas kesalahan nanda dulu. Nanda benar-benar khilaf. Nanda
rindu sama ibu.”
“Bangunlah, sayang. Ibu sudah memaafkan segala kesalahanmu. Anakku, kau
benar-benar cantik mengenakan jilbab ini. Ibu mencintaimu, Nak. Ridlo ibu kini
bersamamu.”
Sosok itu mencium kening Naura lalu menjauh, seolah terhisap oleh
cahaya yang kembali berpendar menyilaukan mata Naura.
“Ibuuu....”
***
“Mbak... bangun, mbak. Sudah masuk waktu shubuh.” tangan
Neesya menyuntuh bahu Naura lembut. Lalu ia menggoyangkannya pelan. Namun
tangan Naura justru terkulai. Mushaf dalam genggamannya terlepas.
“Astaghfirullahal'adzim.” Neesya terkejut. Tiba-tiba ia merasa takut.
Begitu takut. Neesya menyentuh jemari Naura. Dingin. Neesya panik.
“Mbak... mbak Naura. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.
Mbaaaakkkk...”
***
Pagi ini Neesya menengadahkan tangannya. Bermunajat kepada Sang
MahaKuasa.
“Ya Allah, segala puji bagimu, Tuhan semesta alam. Ya Rahim, kuatkan
hati hamba untuk melepas kakak hamba tercinta kembali padaMu. Tempatkan ia di
antara orang-orang yang beriman. Masukkan ia ke dalam surgaMu. Ya Allah, ya
Ghofur, ampunilah dosa-dosa hamba. Teguhkan hati hamba untuk belajar berjalan
di jalanMu. Hamba hanya mengharap ridloMu. Bimbinglah hamba selalu. Amiin.”
Neesya melipat sajadah dan mukenanya. Kemudian ia memasuki kamar
Naura. Ia ingin mengenang kakaknya. Ia memberanikan diri untuk membuka laci
meja Naura. Di sana ia menemukan sebuah buku harian Naura yang berdampingan
dengan beberapa butir obat yang ia tak tahu apa kegunaannya. Namun dari sepucuk
surat di bawahnya ia akhirnya tahu bahwa itu adalah obat untuk penderita kanker
kelenjar getah bening. Neesya gemetar lalu pecahlah tangisnya. Ternyata selama
ini Naura menutupi sakitnya dari orang-orang di sekitarnya.
Dengan tubuh yang masih gemetar Neesya mencoba menguatkan diri untuk
membuka buku harian kakaknya itu. Berhenti ia pada dua halaman terakhir,
tulisan tangan Naura sebelum kepergiannya. Tangis gadis itu mengeras. Ia sangat
tersentuh dengan doa kakaknya untuk dirinya.
Dan sejak saat itulah, Neesya berjanji pada dirinya sendiri untuk
belajar dan terus belajar menjadi seorang muslimah yang sebenar-benarnya
muslimah. Dan kerudung biru muda pemberian Naura menjadi gerbang awal ia untuk
membangun dirinya.
***
Kerudung
birunya berkibar dibuai angin. Ringan. Menggambarkan suasana hati pemakainya.
Yang mengekspresikan kedinamisan hidup yang mengenakannya. Dan itulah jiwa
Neesya yang sesungguhnya.
Mahasiswi UNS
1) “Doa”,
Chairil Anwar
2)
Q. S. Ali Imraan:31
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
3)
“Ujung Jalan”, Rinai Senja
4)
Q. S. Luqman:12-14
“Dan Kami perintahkan kepada manusia
(agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku kembalimu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar