Kontak

Kontak Kami:
Facebook : Madrasah Aliyahku Plupuh
Whechat : muhsin_70
Skype : muhsin_70
BBM : 327F0491
e-mail: man2sragen@yahoo.co.id
HP : 085293217746

Senin, 04 Maret 2013

CERPEN



DOA

Oleh:  Andryas Dewi Pratiwi *)







Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut nama-Mu



Biar susah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh 1)



Langit menghitam. Bintang-bintang menangis. Menitikan air surgawi di wajah bumi. Menyetubuhi alam dengan kesejukannya. Merenda kabut putih. Menyibak damai shubuh. Bumi yang kini kupijak pun basah. Basah oleh air langit-Nya. Basah oleh air mata munajat hamba-Nya. Kedamaian pagi berhias sujud dan tengadah. Senandung tasbih mengangkasa. Menembus langit demi langit-Nya.

Kedamaian pagi itu juga yang menggugah tubuh kurus Neesya untuk menembus dingin shubuh demi mendirikan dua rekaat sunnah dan menengadahkan tangan, memuji dan mengadu kepada Pencipta-nya. Bergegas ia berwudlu, kemudian masuklah ia ke sebuah ruangan berukuran sedang di bagian depan sisi rumah singgah yang ia huni. Rapi. Empat lembar sajadah tersusun berjajar membentuk shaf. Ia pun mulai bertakbir.

Begitu indah. Embun bening mengalir dari sela matanya yang redup. Bingkai duka masih nyata menggantung di wajah sayunya. Kepergian orang yang ia sayangi begitu memukulnya dan hampir mencabik keteguhan hatinya. Nyaris saja ia mengumpat dan mengutuk Tuhan atas musibah yang menderanya. Ya. Orang yang telah ia anggap sebagai kakak semenjak kepergiannya dari rumahnya tiga bulan silam, dua hari lalu telah menghadap Sang Pemilik Hidup. Darinya-lah Neesya belajar memaknai hidup dan kehidupan meski belum lama ia mengenalnya, namun sudah banyak hal yang Neesya dapatkan. Di mata Neesya, ia adalah kakak sekaligus pengganti ibunya.



***



Siang yang cerah di akhir bulan November, di sebuah rumah singgah di kota Bandung, Neesya tampak begitu tergesa-gesa hendak meninggalkan rumah. Ia sibuk memasukkan peralatan lukisnya ke dalam tas pinggang biru muda berukuran sedang di atas meja belajar butut di pojok kamarnya.

“Hari ini jadwal melukis ya, dik? Emang jam berapa mulainya? Buru-buru banget nich kayaknya. Sini mbak bantuin.” Naura yang sedari tadi mengamati Neesya dari balik pintu kamarnya menawarkan bantuan kepada Neesya.

“Iya nich, Mbak. Udah mau telat.”

“Lain kali lebih awal ya nyiapinnya. Biar kamu juga nggak keburu waktu kayak gini.”

“Hehehe... iya mbak cantik.”

Neesya tertawa kecil. Sementara Naura membalasnya dengan senyum ketulusan yang begitu dalam.

“Ya udah, Neesya pamit dulu ya mbak. Assalamu'alaikum.”

Neesya menjabat dan mencium tangan lembut Naura.

“Wa'alaikumsalam warahmatullah. Hati-hati di jalan. Jangan lupa baca doa.”

“Oke, mbak!” sahut Neesya sambil melesat pergi dengan mengayuh sepedanya keluar halaman rumah. Kerudung birunya berkibar dibuai angin. Ringan. Menggambarkan suasana hati pemakainya. Yang mengekspresikan kedinamisan hidup yang mengenakannya. Dan itulah jiwa Neesya yang sesungguhnya.

Naura mengamati Neesya dengan seksama dan penuh perhatian. Dalam hati ia mengguman dan berdoa.

“Ya Allah, jagalah adik hamba ini. Jagalah semangat yang berpendar dari jiwanya. Jagalah keceriaan yang terukir di wajahnya. Dan jagalah iman yang Kau tanamkan di hatinya. Amiin.”

Tiba-tiba angin berhenti berhembus. Kicau burung melemah. Tak berapa lama suasana berubah menjadi hening. Alam seolah ikut mengamini doa gadis itu. Mengalirlah airmatanya, melukis dua buah sungai kecil melewati kedua pipinya. Wajahnya memucat.



***



Jumat, 19 November 2010

18.13 WIB



“Terima kasih Ya Allah atas karuniaMu selama ini. Terima kasih Engkau masih berkenan memberikan hamba kesempatan menikmati satu hari lagi dalam perjalanan hamba menuju padaMu. Kedamaian benar-benar hamba rasakan hari ini. Jagalah apa yang ada di hati hamba. Tiada lagi kata yang dapat hamba ungkap demi melukiskan betapa besar rasa syukur hamba atas segala kemurahanMu.

Ya Allah, terima kasih Engkau telah mengirimkan seorang adik kepada hamba. Berkat dialah hamba dapat lebih mendekatkan diri dan hati hamba padaMu. Lindungi dia, Ya Rabb. Teguhkan imannya. Amiin.”

Selarik doaku hari ini...





Setetes air mata meluncur dari mata Naura yang masih mengenakan mukena. Ia menutup buku harian berwarna biru muda miliknya. Sejurus dengan hal itu, masuklah Neesya ke dalam rumah dengan wajah merah padam. Jengkel. Marah. Menyesal. Kain yang pagi tadi menutup mahkotanya tanggal dari tubuhnya. Begitu pula dengan pakaian taqwa yang ia kenakan tadi pagi. Ia masuk ke kamar Naura. Naura yang baru saja menutup buku hariannya tampak terkejut.

“Astaghfirullahal'adzim. Masya Allah... dik, kamu...”

“Ini saya kembalikan, mbak. Saya tidak pantas mengenakannya.” kata Neesya sambil menyodorkan blus biru muda dan kerudung dengan warna senada kepada Naura.

“Lho, kenapa, dik? Ada apa ini?”

Sontak Neesya pun menghambur ke pelukan Naura. Ia mengangis tersedu-sedu. Naura terpaku sejenak. Naura membiarkan Neesya menangis dalam pelukannya. Barulah setelah dikiranya keadaan Neesya lebih tenang, ia mengajak gadis itu duduk di tepi tempat tidurnya di pojok ruangan kamar berukuran 3x4 meter itu.

“Ada apa sebenarnya, dik?” tanya Naura lembut.

“Tony, mbak. Ia datang lagi.”

“Maksud kamu? Tony yang pernah kamu ceritakan itu?”

“Iya, mbak. Ternyata selama ini dia memata-matai saya. Dan tadi sore saya bertemu dengannya di dekat sekalah darurat. Dia mendekati saya saat saya sedang bersiap-siap untuk pulang. Saya kaget saat ia sudah berada di samping saya.”

Neesya kembali terisak. Ia mencoba menguatkan diri untuk memulai lagi ceritanya.

“Ia menertawakan saya, mbak. Tertawa yang sangat menyakitkan bagi saya. Ia bilang wanita kotor, tak pantas mengenakan pakaian ini.” Neesya menunjuk pakaian yang ia sodorkan kepada Naura tadi.

“Bukan hanya itu. Ia juga berusaha menyentuh saya. Saya berusaha menghindar namun ia justru mengumpati saya. Ia membuka aib kami di hadapan saya sembari mengejek. Bahkan dengan ringannya ia mengajak saya untuk mengulanginya.”

“Wanita kotor? Aib? Apa maksud kamu?”

“Sebenarnya saya sudah tidak suci lagi. Tony telah merenggut mahkota itu. Meskipun saya tergolong nakal dulunya, tapi saya tak pernah menginginkannya. Ia telah memperdaya saya hingga dengan mudahnya ia mendapatkan hal itu. Itu pula yang menyebabkan saya pergi dari kediaman orang tua saya, mbak.”

Bagai disambar petir Naura mendengar penuturan adiknya. Ternyata sekelam itu masa lalu Neesya. Tapi bukan hal itu yang mencabik hatinya. Perkataan Neesya justru yang menggugah memori kelam Naura muncul kembali dalam angannya.

“Saya merasa tak pantas mengenakan pakaian ini, mbak.”

Naura masih terdiam.

“Apakah Allah masih berkenan mengampuni saya, mbak? Wanita kotor yang dengan mudahnya menyerahkan kehormatannya kepada laki-laki tak bertanggung jawab itu.”

Naura menarik napas dalam-dalam.

“Setidaknya kamu bukanlah seorang pembunuh.” kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Naura. Wajahnya yang putih tampak pucat.

“Maksud mbak?”

Mbak lebih kotor darimu, dik. Mbak lebih pantas dihina. Masa lalu mbak tak jauh berbeda dari masa lalumu.” Naura mengambil napas untuk mulai bercerita.

Mbak juga mengalami hal serupa denganmu dan mbak melakukannya dengan kerelaan. Bukan hanya sekali atau dua kali, tapi berkali-kali  hingga mbak hamil. Mbak kalut saat itu dan berpikir pendek untuk menggugurkan kandungan mbak. Dan pada akhirnya kedua orang tua mbak tahu akan hal itu. Ibu mbak yang tengah sakit keras saat itu benar-benar kecewa kepada mbak. Hingga akhir hayatnya, beliau belum bersedia memaafkan mbak dan tidak mengakui mbak sebagai putrinya serta melarang mbak untuk sekedar berziarah ke makam beliau jika beliau meninggal. Begitu pula dengan ayah mbak. Dan akhirnya mbak memutuskan untuk meninggalkan rumah dan medirikan rumah singgah ini dengan jerih payah mbak sendiri. Dari sinilah mbak mulai menata kembali hidup mbak, mbak mulai belajar mengenai agama dan sebisa mungkin mengamalkan apa yang telah mbak terima. Meski mbak nggak tahu apakah yang mbak lakukan ini diterima Allah atau nggak.” wajah Naura tampak semakin pucat. Tubuhnya bergetar.

Dik, kita harus tetap berusaha memperbaiki diri. Tak ada kata terlambat sebelum Malaikat Maut menghampiri kita. Bertawakallah pada Allah. “

Neesya terisak mendengar cerita dari Naura. Terkejut bercampur rasa haru.

“Ini... pakai kembali kerudungmu. Jangan terpengaruh dengan kata-kata orang disekitarmu yang mencoba menggoyahkan keteguhanmu.”

Keduanya terdiam beberapa saat. Neesya sibuk dengan pikiran yang menggantung di angannya.

“Ya Allah, sepahit itukah lembaran kisah mbak Naura? Hamba benar-benar tidak menyangka. Wanita sesholikhah itu ternyata... . Ya Allah, kuatkanlah hatinya. Kuatkan imannya. Ampunilah dosa-dosanya dan dosa-dosa hamba.” bisiknya dalam hati.

Lantunan adzan Isya' terdengar dari kejauhan. Angin berhembus lirih menyemarakkan suasana malam.

“Sudah masuk waktu sholat, dik. Kembalilah ke kamarmu. Bersihkan dirimu lalu ambil air wudlu. Mbak tunggu di depan. Kita sholat berjamaah, ya.”

Neesya masih terdiam saat ia beranjak meninggalkan kamar Naura. Beberapa saat setelah itu, Neesya menuju tempat yang disebutkan Naura tadi. Terlihat Naura tengah berdzikir sembari menunggu Neesya. Terlihat pula dua remaja putri lain juga sudah siap untuk sholat disana. Neesya masuk. Dengan lembut tangannya menyentuh bahu Naura. Naura memandang ke arah Neesya dengan tatapan yang teramat teduh. Wajahnya pucat. Neesya merasakan getaran lain. Sesuatu yang aneh merasuk ke dalam pikirannya. Angin yang tadi berhembus, kini tak terasa pergerakannya. Hening, bahkan terlampau hening bagi Neesya.

“Sudah siap?”

Pertanyaan Naura membuyarkan pikiran Neesya. Neesya mengangguk pelan. Naura beranjak dari duduknya dan mengambil posisi sebagai imam. Langkahnya bergetar. Ia mulai melafalkan takbir. Tak seperti biasanya, kali ini Naura tidak membaca Surah Al-Kaafirun dan Al-Ikhlas namun ia memilih untuk membaca potongan surah Ali Imraan ayat 31 pada rekaat pertama dan Surah Luqman ayat 12-14 pada rekaat selanjutnya.

“Qul inkuntum tuhibbuunallaaha fattabi'uunii yuhbibkumullaahu wa yaghfirlakum dzunuubakum, wallaahu ghofuururrahiim...”2)

Alam bertasbih mendengar ayat penguji cinta itu. Air mata Naura mengalir saat ia melafalkan firman Allah itu. Begitu dalam makna yang ia rasakan.

Seusai sholat Naura langsung menuju kamarnya. Sebuah keganjilan dirasakan oleh Neesya. Wajah Naura tampak murung dan terpukul. Neesya takut mendekati Naura. Dan akhirnya ia memutuskan untuk diam.

Di kamarnya, Naura kembali mengambil buku hariannya. Ia ingin menulis kembali.



Aku tersedak

sesuatu melintas dalam pikiran hadirkan rasa tak nyaman

kutelan ludah

pehit rasa dalam kerongkongan



Terngiang merdu adzan berkumandang

hujan dari redup mata kembali menderas

syahadah  menjadi mimpi terindah

begitu indah mendambanya



Meski rasa sakit itu kian mendera

merambati keteguhanku

kututup mata mencoba melerai



Jalanku terhampar

di sana

namun...

belum ingin ku melangkah

sebelum mengucap salam terindah



Aku ingin dilepas

dalam penghambaan terakhir

antar aku menuju pelabuhanku

dalam keridloanMu 3)



Setelah ia menulis puisi itu ia lalu mengambil mushaf Al-Qur'an. Kemudian ia duduk di tepi tempat tidurnya dan membaca potongan Surah Luqman yang ia baca saat sholat tadi. Kembali ia menangis saat membaca ayat ke-14,

“Wa wash-shoinal insaana bi waalidaihi hamalathu ummuhuu wahnan 'alaa wahniw-wa fishooluhuu fii 'aamaini anisykur lii wa li waalidaik, ilayyalmashiir” 4)

Naura mencium mushaf miliknya itu dan mendekapnya, kemudian ia mengucap dua kalimat syahadat. Namun tiba-tiba saja tak sadarkan diri. Mushafnya masih berada erat dalam pelukannya.



***



Naura tengah membaca ayat yang teramat berarti baginya dengan berurai air mata. Seberkas cahaya menghampiri Naura, sangat menyilaukan. Naura memejamkan matanya. Tiba-tiba terdengar suara lembut seorang wanita.

“Bukalah matamu, sayang.”

Naura mencoba membuka matanya. Cahaya itu telah lenyap berganti dengan sosok wanita separuh baya dengan wajah berbinar berdiri di hadapannya.

“Ibu!” air mata Naura tak terbendung lagi. Ia bertekuk lutut lantas mencium kaki ibundanya. “Uhibbuki, ya Ummi. Uhibbuki fillah, insya Allah. Ananda mohon maaf atas kesalahan nanda dulu. Nanda benar-benar khilaf. Nanda rindu sama ibu.”

“Bangunlah, sayang. Ibu sudah memaafkan segala kesalahanmu. Anakku, kau benar-benar cantik mengenakan jilbab ini. Ibu mencintaimu, Nak. Ridlo ibu kini bersamamu.”

Sosok itu mencium kening Naura lalu menjauh, seolah terhisap oleh cahaya yang kembali berpendar menyilaukan mata Naura.

“Ibuuu....”



***



Mbak... bangun, mbak. Sudah masuk waktu shubuh.” tangan Neesya menyuntuh bahu Naura lembut. Lalu ia menggoyangkannya pelan. Namun tangan Naura justru terkulai. Mushaf dalam genggamannya terlepas.

“Astaghfirullahal'adzim.” Neesya terkejut. Tiba-tiba ia merasa takut. Begitu takut. Neesya menyentuh jemari Naura. Dingin. Neesya panik.

Mbak... mbak Naura. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Mbaaaakkkk...”



***



Pagi ini Neesya menengadahkan tangannya. Bermunajat kepada Sang MahaKuasa.

“Ya Allah, segala puji bagimu, Tuhan semesta alam. Ya Rahim, kuatkan hati hamba untuk melepas kakak hamba tercinta kembali padaMu. Tempatkan ia di antara orang-orang yang beriman. Masukkan ia ke dalam surgaMu. Ya Allah, ya Ghofur, ampunilah dosa-dosa hamba. Teguhkan hati hamba untuk belajar berjalan di jalanMu. Hamba hanya mengharap ridloMu. Bimbinglah hamba selalu. Amiin.”

Neesya melipat sajadah dan mukenanya. Kemudian ia memasuki kamar Naura. Ia ingin mengenang kakaknya. Ia memberanikan diri untuk membuka laci meja Naura. Di sana ia menemukan sebuah buku harian Naura yang berdampingan dengan beberapa butir obat yang ia tak tahu apa kegunaannya. Namun dari sepucuk surat di bawahnya ia akhirnya tahu bahwa itu adalah obat untuk penderita kanker kelenjar getah bening. Neesya gemetar lalu pecahlah tangisnya. Ternyata selama ini Naura menutupi sakitnya dari orang-orang di sekitarnya.

Dengan tubuh yang masih gemetar Neesya mencoba menguatkan diri untuk membuka buku harian kakaknya itu. Berhenti ia pada dua halaman terakhir, tulisan tangan Naura sebelum kepergiannya. Tangis gadis itu mengeras. Ia sangat tersentuh dengan doa kakaknya untuk dirinya.

Dan sejak saat itulah, Neesya berjanji pada dirinya sendiri untuk belajar dan terus belajar menjadi seorang muslimah yang sebenar-benarnya muslimah. Dan kerudung biru muda pemberian Naura menjadi gerbang awal ia untuk membangun dirinya.

***



Kerudung birunya berkibar dibuai angin. Ringan. Menggambarkan suasana hati pemakainya. Yang mengekspresikan kedinamisan hidup yang mengenakannya. Dan itulah jiwa Neesya yang sesungguhnya.


*)Andryas Dewi Pratiwi, 
   Mahasiswi UNS




1) “Doa”, Chairil Anwar

2) Q. S. Ali Imraan:31

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

3) “Ujung Jalan”, Rinai Senja

4) Q. S. Luqman:12-14

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku kembalimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar